Punya laut yang indah? Kamu dapat membandingkannya dengan Nemberala. Ini yang kita sebut pantai... |
Aku pernah ke tempat ini sekitar tahun 2008 (persisnya ntar aku cek lagi di album foto facebook, lupa sih hihihi). Sudah lima tahun lalu lamanya dan setelah itu nyaris tidak pernah mendatangi Rote lagi. Waktu itu tempat ini masih tempat ini kondisinya jalannya tidak semuanya beraspal, bahkan untuk sampai ke pantai Boa waktu itu kami harus melewati jalan yang masih berupa tanah berpasir putih. Keren kan? Sekarang jalan beraspal telah membentang di sini walau tetap saja tidak semuanya mulus dilewati karena belum jalan besar.
Salah satu pantai di sisi utara Nemberala |
Sonny menjemputku dengan motornya jam tiga sehingga aku dan dia baru bisa berangkat setengah empat sore. Menuju ke arah barat, satu jam pertama perjalanan berjalan nyaman karena kondisi jalan cukup bagus. Kami melewati daerah Busalangga, disini ada pasar Busalangga yang buka pada hari-hari tertentu, kalau tidak salah hari Sabtu. Yang aku ingat dulunya sangat terkenal ramai pada saat buka, dan disana menjadi tempat tujuan pelancong yang ingin menjadi makanan khas Rote dengan harga murah: gula Rote (gula dari pohon Lontar) baik yang padat berbentuk lempengan bulat pipih atau yang masih berupa air gula, kain rote yang berasal langsung dari pembuatnya, susu goreng dan beberapa hasil kebun. Aku ingat dulu beli bawang merah disini. Kalau umumnya bawang merah dijual di pasar sudah tinggal bijinya maka di pasar Busalangga bawang merah dijual dengan tangkai daunnya sebagai alat pengikat.
Kelapa berbatang tinggi yang banyak ada di sini |
Sayangnya beberapa kilometer menuju Nemberala justru jalanan masih jelek, kondisi jalan yang aspalnya sudah mengelupas disana-sini. Ada beberapa ruas yang justru tinggal batu-batu saja. Dan itu justru memakan waktu seperempat jam lebih untuk dilewatinya. Sebuah gerbang selamat datang membentang di antara jalan yang menunjukkan kita telah sampai di pantai Nemberala. Tepat dipertigaan di pinggir pantai, kami memilih berbelok ke kanan arah ke utara karena arah itu yang belum pernah aku lewati. Menurut Sonny, ke arah sana kita menuju ke perkampungan dimana banyak perahu disandarkan. Disepanjang jalan itulah banyak aku temui bangunan-bangunan berpagar batu rapi yang menghalangi pemandangan langsung ke pantai yang adalah rumah-rumah para bule. Pagar-pagar batu menjadi pemandangan khas di Rote, namun jika umumnya masyarakat membuat pagar batu dari batu karang hanya selapis sehingga masih tampak berongga tidak rapat maka umumnya bangunan-bangunan yang bagus membuat pagar batu beberapa lapis sehingga tidak berongga.
Rumput laut yang gagal panen karena kena gelombang |
Selain itu, gelombang juga membuat rumput-rumput laut yang masih terpasang di ikatan dipenuhi sejenis lumut hijau panjang. Saat aku memotret seorang ibu yang sedang membersihkan rumput lautnya yang masih bisa diselamatkan, masih bisa bercanda “Anak, mama ini capek sekali pinggang bersih-bersih rumput laut, tapi anak foto mama nih, mama langsung segar memang,” yang disambut tawa rekan-rekannya sesama ibu. Ah, semoga masih banyak yang bisa diselamatkan setidaknya masih layak lah hasil yang bisa dibawa pulang ke rumah. Sekarang di sepanjang pantai lebih banyak tumbuh kelapa-kelapa yang pohonnya pendek. Hanya di titik-titik tertentu aku masih menemukan kelapa berbatang tinggi dan itu terasa eksotis sekali. Salah satunya ada di kanan dari Nemberala Resort.
Salah satu rumah punya bule, sepanjang pantai inilah viewnya |
Beberapa hari kemudian aku habis dari liat sekolahan, pas makan juga mampir di Nemberala lagi. Awalnya sih udah mau ke Oeseli tapi eh ternyata jalan potongnya lagi ada pekerjaan penambahan sirtu (pasir batu), keruan aja gak bisa dilewati. Karena perut sudah bernyanyi keroncongan jadi akhirnya mampir yang paling deket. Jadinya ya ke Nemberala lagi. Lumayan juga, makan siang di bawah pohon kelapa sambil memandangi laut yang berwarna biru kehijauan.
Melepas hari dengan sebotol bir dan sunset yang indah |
Rey sempat bingung bagaimana mereka berselancar karena dia melihat di sepanjang pinggir pantai lebih banyak dipenuhi karang dan tanaman rumput laut yang dibudidayakan. Aku menunjuk di kejauhan dimana ombak tampak bergulung-gulung besar. Jadi disini jika ingin surfing bukan langsung nyemplung dan mendapatkan ombak di pinggir pantai melainkan harus berenang jauh ke tengah dimana karang sudah tidak ada. Jadi jangan takut walaupun ombak Nemberala jika pada musimnya terkenal besar tapi itu hanya di kejauhan karena di pinggir pantai terhalang karang. Itu lah kenapa walaupun terkenal dengan ombaknya, tapi Nemberala juga banyak petani rumput laut.
Kami kembali dari pantai Boa sudah sore, matahari sudah tenggelam dalam warna kuning memerah. Saat warna kemerahan mulai menarik diri oleh warna biru gelap, sekelompok bule duduk-duduk di lopo depan sambil ngobrol. Denting gitar mengalun menyanyikan lagu reggae. Pantai indah berpasir putih dan jajaran pohon kelapa berpadu sempurna dengan lagu-lagu dari Bob Marley... thar’s beautiful moment dude... siapa yang menyalahkan para bule tua ini menikmati keindahan surga Indonesia di pantai Nemberala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar